Senin, 31 Oktober 2011

JANGAN DEKATI ZINA

JANGAN DEKATI ZINA
Oleh : Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyah


Pendahuluan
Bahaya Zina
Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh praktek zina merupakan bahaya yang tergolong besar, dan praktek tersebut juga bertentangan dengan aturan universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab keturunan, menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal-hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci di antara manusia disebabkan pengrusakan terhadap kehormatan isteri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka. Dan ini jelas akan merusak tatanan kehidupan. Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya praktek zina itu -bobotnya- setingkat di bawah praktek pembunuhan. Oleh karena itu, Allah I menggandeng keduanya di dalam Al-Qur'an dan juga Rasulullah dalam keterangan hadits beliau.

Al-Imam Ahmad berkata: "Aku tidak mengetahui sebuah dosa -setelah dosa membunuh jiwa- yang lebih besar dari dosa zina." Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam firmanNya:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang-orang yang bertaubat ..." (Al-Furqan: 68-70).
Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan vonis hukumannya adalah kekal dalam adzab berat yang berlipat ganda, selama pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal shalih. Allah I berfirman:
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk." (Al-Isra': 32).

Di sini Allah menjelaskan tentang kejinya praktek zina dan kata "fahisyah" maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan dapat diakui kekejiannya oleh setiap orang berakal bahkan oleh sebagian banyak binatang, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Amr bin Maimun Al-Audi, dia berkata: "Aku pernah melihat -pada masa jahiliyah- seekor kera jantan yang berzina dengan seekor kera betina. Lalu datanglah kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati." Kemudian Allah juga memberitahukan bahwa praktek zina adalah seburukburuk jalan; karena merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab di akhirat nanti. Dan karena menikahi mantan isteri-isteri ayah itu termasuk perbuatan yang sangat jelek sekali, Allah I secara khusus memberikan "cela" tambahan bagi praktek menikahi isteri orang tua. Allah berfirman (setelah secara tegas
melarang kaum muslimin untuk menikahi isteri-isteri ayah mereka, pent):
"Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (An-Nisa': 22). Allah I juga menggantungkan keberuntungan seorang hamba pada
kemampuannya dalam menjaga "kehormatan"nya. Tak ada jalan menuju keberuntungan tanpa menjaga "kehormatan". Allah berfirman:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang
khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang me- nunaikan zakat,
dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas." (Al-Mukminun: 1-7).

 
Dalam ayat-ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan, yaitu, pertama, bahwa orang
yang tidak menjaga kemaluannya, tidak akan termasuk orang yang beruntung,
kedua , dia akan termasuk orang yang tercela, dan ketiga, dia termasuk orang
yang melampaui batas. Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta
berhak mendapat predikat "melampaui batas' dan jatuh pada tindakan yang
membuatnya tercela, padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih
ringan ketimbang menanggung sebagian akibat yang disebutkan tadi.
Selain itu pula, Allah telah menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah,
tidak sabar dan tidak mampu me- ngendalikan diri saat mendapatkan
kebahagiaan, demikian pula kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan, dia menjadi
kikir, tak mau memberi, dan bila mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh.
Begitulah sifat umum manusia, kecuali orang-orang yang memang dikecualikan
dari hambaNya, yang diantaranya adalah mereka yang disebut di dalam
firmanNya:

"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas." (Al-Ma'arij: 29-31).
Oleh karenanya, Allah memerintahkan Rasulullah r untuk memerintahkan
orang-orang mukmin agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka, juga
diberitahukan kepada mereka bahwa Allah selalu menyaksikan amal perbuatan
mereka.
"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan
oleh hati." (Ghafir: 19).
Dan karena ujung pangkal dari perbuatan zina yang keji ini dari pandangan mata,
maka Allah lebih mendahulukan perintah untuk memalingkan pandangan mata
sebelum perintah untuk menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang
asal muasalnya adalah dari pandangan; seperti kobaran api yang besar asalnya
adalah percikan api yang kecil. Mulanya hanya pandangan, kemudian khayalan,
kemudian langkah nyata, kemudian terjadilah musibah yang merupakan
kesalahan besar(zina).
Oleh karenanya, ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa yang bisa menjaga
empat hal maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al-Lahazhat
(pandangan pertama), Al-Khatharat (pikiran yang melintas di benak), Al-Lafazhat
(lidah dan ucapan), Al-Khathawat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).
Dan seyogyanya, seorang hamba Allah itu bersedia untuk menjadi penjaga dirinya
dari empat hal di atas dengan ketat, sebab dari situlah musuh akan datang
menyerangnya, merasuk ke dalam dirinya dan merusak segala sesuatu.
Empat Pintu Masuk Maksiat Pada Hamba
Sebagian besar maksiat itu terjadi pada seorang hamba melalui empat pintu yang
telah kita sebutkan di atas. Sekarang, marilah kita ikuti pembahasan tentang
empat pintu tersebut di bawah ini:
1. Al-Lahazhat (Pandangan Pertama)
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai 'provokator' syahwat atau 'utusan' syahwat.
Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan pokok dalam usaha menjaga
kemaluan. maka barangsiapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali,
niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada jurang kebinasaan.
Rasulullah bersabda:
"Janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya).
Pandangan (pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan
selanjutnya."
Dan di dalam Musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah :
"Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barangsiapa
yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena
Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari
Kiamat." Inilah kurang lebih makna hadits tersebut.
Beliau juga bersabda:
"Palingkanlah pandangan kalian dan jagalah kemaluan kalian."
Dalam hadits lain beliau bersabda:
"Janganlah kalian duduk-duduk di (tepi-tepi) jalan." Mereka berkata: "Ya Rasulullah,
tempat-tempat duduk kami pasti di tepi jalan." Beliau bersabda: "Jika kalian
memang harus melakukannya, maka hendaklah memberikan hak jalan itu." Mereka
bertanya: "Apa hak jalan itu?" Jawab beliau: "Memalingkan pandangan (dari hal
yang dilarang Allah, pent), menyingkirkan gangguan dan menjawab salam."
Pandangan adalah asal muasal seluruh musibah yang menimpa manusia. Sebab,
pandangan itu akan melahirkan lintasan dalam benak, kemudian lintasan itu
akan melahirkan pikiran, dan pikiran itulah yang melahirkan syahwat, dan dari
syahwat itu timbullah keinginan. Kemudian keinginan ini menjadi kuat dan
berubah menjadi niat yang bulat. Akhirnya, apa yang tadinya hanya melintas
dalam pikiran menjadi kenyataan dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang
menghalanginya. Oleh karenanya, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah, bahwa:
"Bersabar dalam menahan pandangan mata (bebannya) adalah lebih ringan
dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya."
Seorang penyair mengatakan:
! Setiap kejadian musibah(praktek zina) itu bermula dari pandangan, seperti
kobaran api berasal dari percikan api yang kecil.
! Betapa banyak pandangan yang berhasil menembus ke dalam hati
pemiliknya, seperti tembusnya anak panah yang di lepaskan dari busur dan
talinya.
! Seorang hamba, selama dia masih mempunyai kelopak mata yang dia
gunakan untuk memandang orang lain, maka dia berada pada posisi yang
membahayakan.
! (Dia memandang hal-hal yang) menyenangkan matanya tapi membahayakan
jiwanya, maka janganlah kamu sambut kesenangan yang akan membawa
malapetaka.
Di Antara Bahaya Pandangan
Yaitu pandangan yang dilepaskan begitu saja itu dapat menimbulkan perasaan
gundah, tidak tenang dan hati yang terasa dipanas-panasi. Seseorang bisa saja
melihat sesuatu, yang sebenarnya dia tidak mampu untuk melihatnya secara
keseluruhan, namun dia tidak sabar untuk melihatnya. Tentu, merupakan
siksaan yang berat pada batin Anda bila ternyata Anda melihat sesuatu yang Anda
tidak bisa sabar untuk tidak melihat walaupun sebagian dari sesuatu tersebut,
namun Anda juga tidak mampu untuk melihatnya.
Seorang penyair berkata:
! Bila -suatu hari- engkau lepaskan pandangan matamu mencari (mangsa)
untuk hatimu, niscaya apa-apa yang dipandangnya akan melelahkan
(menyiksa) diri kamu sendiri.
! Engkau melihat sesuatu yang engkau tidak mampu untuk melihatnya secara
keseluruhan dan engkau juga tidak bisa bersabar untuk tidak melihat (walau
hanya) sebagian dari sesuatu itu.
Lebih jelasnya, bait syair di atas maksudnya: Engkau akan melihat sesuatu yang
engkau tidak sabar untuk tidak melihatnya walaupun hanya sedikit, namun saat
itu juga engkau tidak mampu untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya
sedikit.
Betapa banyak orang yang melepaskan pandangannya tanpa kendali akhirnya dia
binasa dengan pandangan-pandangan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh
seorang penyair:
! Wahai orang yang memandang, tidaklah dia sampai tuntas menyelesaikan
pandangannya, sehingga dia sendiri akan menjauh dan jatuh binasa karena
pandangan-pandangannya sendiri.
Ada untaian bait lain yang mengatakan:
! (Mungkin) dia sudah bosan selamat, hingga dia biarkan pandangannya
menyaksikan apa yang menurutnya indah.
! Begitulah; dia terus melanjutkan satu pandangan dengan pandangan yang
lain, sehingga akhirnya dia menjauh dan jatuh binasa karena pandanganpandangannya
sendiri.
Suatu hal yang lebih mengherankan, yaitu bahwa pandangan yang dilakukan oleh
seseorang itu merupakan anak panah yang tidak pernah mengena pada sasaran
yang dipandang, sementara anak panah itu benar-benar mengena di hati orang
yang memandang. Ada untaian bait syair yang mengatakan:
! Wahai orang yang dengan sungguh-sungguh melempar anak panah
pandangannya; Engkaulah sebenarnya yang menjadi korban dari apa yang
kamu lempar itu dan engkau tidak berhasil membidik orang yang engkau
pandang.
! Dan orang selalu melepas pandangannya, dia akan kehilangan
kesehatannya. (Oleh karena itu) kurunglah pandanganmu itu, jangan sampai
dia mendatangkan musibah kepadamu.
Suatu hal yang lebih mengherankan lagi, yaitu bahwa satu pandangan (padahal
yang dilarang) itu dapat melukai hati dan (dengan pandangan yang baru) berarti
dia menoreh luka baru di atas luka lama; Namun ternyata derita yang
ditimbulkan oleh luka-luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus menerus
melakukannya.
! Kau senantiasa mengikutkan satu pandangan dengan pandangan lainnya
untuk menyaksikan (wanita) cantik dan (pria) tampan.
! Dan kau mengira bahwa itu dapat mengobati luka (syahwat)mu, padahal,
dengan itu berarti kau menoreh luka di atas luka.
! Kau korbankan matamu dengan pandangan dan ta ngisan, sementara
hatimu juga (menjerit seperti) disembelih habis-habisan.
Oleh karena itu dikatakan : "Sesungguhnya menahan pandangan hatimu itu lebih
mudah daripada menahan langgengnya penyesalan".
2. Khatharat (Pikiran Yang Melintas Di Benak)
Adapun "Al-Khatharat" (pikiran yang melintas di benak) maka urusannya lebih
sulit. Di sinilah tempat dimulainya aktifitas, yang baik ataupun yang buruk. Dari
sinilah lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah
menjadi tekad yang bulat. Maka, barangsiapa yang mampu mengendalikan
pikiran-pikiran yang melintas di benaknya, niscaya dia akan mampu
mengendalikan diri dan menundukkan nafsunya. Namun, orang yang tidak bisa
me- ngendalikan pikiran-pikirannya, maka hawa nafsunyalah yang berbalik
menguasainya. Dan barangsiapa yang menganggap remeh pikiran-pikiran yang
melintas di benaknya, maka tanpa dia inginkan, akan terseret pada kebinasaan.
Pikiran-pikiran itu akan terus melintas di benak dan di dalam hati seseorang,
sehingga akhirnya dia akan menjadi angan-angan tanpa makna(palsu).
"Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan
kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitunganNya" (An-Nur: 39).
Orang yang paling jelek cita-citanya dan paling hina, adalah orang yang merasa
puas dengan angan-angan kosongnya. Dia pegang angan-angan itu untuk dirinya
dan dia pun merasa bangga dan senang dengannya. Padahal, demi Allah, anganangan
itu adalah modal orang-orang yang pailit dan barang dagangan para
pengangguran serta merupakan makanan pokok bagi jiwa yang kosong yang bisa
merasa puas dengan gambaran-gambaran dalam khayalan, dan angan-angan
palsu.
Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
! mendapatkan Su'da, dapat menghilangkan dahaga. Dengan angan-angan itu
Su'da telah berhasil memberikan pada kita air dingin di kala haus.
! Angan-angan, yang sekiranya dapat menjadi kenyataan, tentu menjadi
kebahagiaan, dan kalaupun tidak, maka sesungguhnya kita hidup senang
beberapa waktu dengan angan-angan itu.
Angan-angan adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi manusia. Dia lahir dari
sikap ketidakmampuan sekaligus kemalasan, dan melahirkan sikap lalai yang
selanjutnya penderitaan dan penyesalan. Orang yang hanya berangan-angan -
disebabkan karena dia tidak berhasil mendapatkan realita yang diinginkannyasebagai
pelampiasannya, maka dia merubah gambaran realita yang dia inginkan
ke dalam hatinya; dia akan mendekap dan memeluknya erat-erat.Selanjutnya dia
akan merasa puas dengan gambaran-gambaran palsu yang dikhayalkan oleh
pikirannya.
Padahal, itu semua, sedikitpun tidak akan membawa manfaat. Sama seperti orang
yang sedang lapar dan haus, membayangkan gambaran makanan dan minuman
namun dia tidak dapat memakan dan meminumnya.
Perasaan tenang dan puas dengan kondisi semacam ini dan berusaha untuk
memperolehnya, jelas menunjukkan betapa jelek dan hinanya jiwa seseorang.
Sebab, kemuliaan jiwa seseorang, kebersihan, kesucian dan ketinggiannya, tidak
lain adalah dengan cara membuang jauh-jauh setiap pikiran yang jauh dari realita
dan dia tidak rela bila hal-hal tersebut sampai melintas di benaknya serta dia juga
tidak sudi hal itu terjadi pada dirinya.
Kemudian "khatharat" atau ide, pikiran yang melintas di benak itu, mempunyai
banyak macam, namun pada pokoknya ada empat:
Pikiran yang orientasinya untuk mencari keuntungan-keuntungan dunia/materi.
a. Pikiran yang orientasinya untuk mencegah kerugian dunia/materi.
b. Pikiran yang orientasinya untuk mencari kemaslahatan akhirat.
c. Pikiran yang orientasinya untuk mencegah kerugian akhirat.
Idealnya, seorang hamba hendaklah menjadikan pikiran-pikiran, ide-ide dan
keinginannya hanya berkisar pada empat macam di atas. Bila kesemua bagian itu
ada padanya, maka selagi mungkin dipadukan, hendaklah dia tidak
mengabaikannya untuk yang lain. Kalau ternyata, pikiran-pikiran yang datang itu
banyak dan bertumpang tindih, maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih
penting, yang dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk itu, kemudian
mengakhirkan yang tidak terlalu penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan
kesempatan untuk itu.
Yang tersisa sekarang adalah dua bagian lagi, yaitu:
Pertama , yang penting dan tidak dikhawatirkan kehila- ngan kesempatan untuk
melakukannya.
Kedua, yang tidak penting namun dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk
melakukannya.
Dua bagian terakhir ini sama-sama mempunyai alasan untuk didahulukan. Di
sinilah lahir sikap ragu-ragu dan bingung memilih. Bila dia dahulukan yang
penting, dia khawatir akan kehilangan kesempatan untuk yang lain. Namun bila
dia mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan esuatu yang penting. Begitulah,
kadang-kadang seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mungkin
dikumpulkan menjadi satu, yang mana salah satunya tidak dapat dicapai kecuali
dengan mengorbankan yang lain.
Di sinilah, akal, nalar dan pengetahuan itu berperan. Di sini akan diketahui, siapa
orang tinggi, siapa orang yang sukses dan siapa orang yang merugi. Kebanyakan
orang yang mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan Anda lihat dia
mengorbankan sesuatu yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan
untuk itu, demi melakukan sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan
kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan Anda tidak akan mendapatkan
seorang pun yang selamat (dan terlepas) dari hal seperti itu. Hanya saja ada yang
jarang dan ada pula yang sering menghadapinya.
Dan sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai penentu pilihan dalam masalah ini
adalah sebuah kaidah besar dan mendasar yang merupakan poros berputarnya
aturan-aturan syari'at, dan juga pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan.
Kaidah itu adalah mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi
dalam dua pilihan yang ada walaupun harus mengorbankan kemaslahatan yang
lebih kecil- kemudian kaidah itu pula menyatakan bahwa kita memilih
kemudharatan yang lebih ringan untuk mencegah terjadinya mudharat yang lebih
besar.
Jadi, sebuah kemaslahatan akan dikorbankan dengan tujuan mendapatkan
kemaslahatan yang lebih besar, begitu pula sebuah kemudharatan akan dilakukan
dengan tujuan mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar. Pikiranpikiran
serta ide-ide orang yang berakal itu tidak akan keluar dari apa yang kita
jelaskan di atas. Dan karena itu datang berbagai syari'at atau aturan.
Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu didasarkan pada hal-hal tersebut. Dan pikiran-
pikiran serta ide-ide yang paling tinggi, paling mulia dan paling bermanfaat
ialah yang orientasinya untuk Allah dan kebahagiaan di alam akhirat nanti.
Kemudian, pikiran yang orientasinya adalah untuk Allah ini bermacam-macam:
Pertama : Memikirkan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dan berusaha untuk
memahami maksud Allah dari ayat-ayat tersebut; dan memang untuk itulah Allah
menurunkannya; tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, namun membaca itu
hanya media saja.
Sebagian ulama Salaf mengatakan: "Allah menurunkan Al-Qur'an untuk
diamalkan, maka jadikanlah bacaan Al-Qur'an itu sebagai amalan."
Kedua : Memikirkan dan memperhatikan ayat-ayat atau tanda-tanda
kebesaranNya yang dapat dilihat langsung; dan menjadikannya sebagai bukti akan
nama-nama Allah, sifat-sifat, hikmah, kebaikan dan kemurahanNya. Dan Allah
sendiri telah mendorong hamba-hambaNya untuk merenungkan tanda-tanda
kebesaranNya, memikirkan dan memahaminya; Allah menegur dan mencela orang
yang melalaikannya.
Ketiga: Memikirkan nikmat, kebaikan dan berbagai karunia yang Dia limpahkan
kepada seluruh makhlukNya, dan merenungkan keluasan rahmat, ampunan dan
kasih sayangNya.
Tiga hal di atas akan dapat mendorong lahirnya -dari hati seorang hambama'rifatullah
(pengetahuan tentang Allah), kecintaan serta perasaan cemas dan
harap kepada-Nya. Dan bila tiga hal tadi dilakukan dengan kontinyu, disertai
dengan dzikir kepada Allah, maka hati seorang hamba akan tercelup secara
sempurna dengan ma'rifah dan kecintaan kepadaNya.
Keempat : Memikirkan aib, cela dan kelemahan yang ada pada jiwa dan amal
perbuatan. Hal ini akan memberikan manfaat yang sangat besar. Ini merupakan
pintu segala kebaikan. Ini juga sangat berperan dalam mengalahkan hawa nafsu
yang selalu memerintahkan kejelekan. Bila nafsu yang jahat itu dapat dikalahkan
maka nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan hidup, bangkit dan
menjadi penentu segala keputusan. Lalu hatipun menjadi hidup dan kebijakan
ada pada kerajaannya didengar; dia perintah para karyawan dan bala tentaranya
untuk melakukan hal yang membawa kemaslahatannya.
Kelima: Memikirkan kewajiban terhadap waktu sekaligus bagaimana cara
menggunakannya, serta menumpahkan seluruh perhatian terhadap pemanfaatan
waktu. Seorang yang arif, akan selalu memanfaatkan waktunya, karena dia yakin,
bila waktunya disia-siakan begitu saja, berarti dia telah menyia-nyiakan seluruh
kemaslahatan (yang seharusnya dia dapatkan. pent). Sebab, seluruh
kemaslahatan itu, tidak lain bisa timbul dan didapatkan melainkan dari adanya
waktu. Dan bila disia-siakan (dan waktu itu sudah lewat. pent) maka dia tidak
akan bisa mengembalikannya lagi untuk selamanya.
Al-Imam Asy-Syafi'i berkata: "Aku pernah berteman dengan orang-orang sufi dan
aku tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat saja:
Pertama: "Waktu itu bagaikan pedang, bila engkau tidak memotongnya, dialah
yang akan menebasmu."
Kedua: "Dan nafsumu, bila engkau tidak menyibukkannya de- ngan kebenaran,
maka dialah yang akan menyibukkanmu dengan kebathilan."
Waktu yang dimiliki manusia, itulah umur dia yang sebenarnya. Waktu itulah
yang menjadi modal untuk kehidupannya yang abadi dalam kenikmatan
abadi(Surga), sekaligus juga modal untuk kehidupan yang sengsara dalam adzab
yang pedih(Neraka). Waktu itu berlalu lebih cepat dari perjalanan gumpalan awan.
Maka, barangsiapa yang berhasil menjadikan waktunya untuk Allah dan bersama
Allah, itulah kehidupan dan umurnya yang hakiki. Dan waktu yang tidak
dipersembahkan untuk Allah tidaklah dihitung sebagai bagian dari kehidupannya.
Walaupun dia hidup tapi kehidupannya laksana kehidupan binatang ternak. Bila
seseorang menghabiskan waktunya penuh dengan kelalaian, syahwat dan anganangan
kosong atau yang paling baik hanya digunakan untuk tidur dan
pengangguran, maka bagi orang semacam ini "mati" itu lebih baik daripada dia
hidup.
Bila seorang hamba yang sedang melakukan shalat- tidak akan mendapatkan
nilai dari shalatnya selain pada bagian yang dia pahami dari shalatnya, maka
umurnya yang sesungguhnya adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan
dengan Allah.
Pikiran-pikiran atau ide-ide yang tidak termasuk salah satu bagian yang disebut di
atas tadi, dapat kita kategorikan sebagai was-was syaithaniyah(bisikan-bisikan
setan), angan-angan kosong atau halusinasi bohong, persis seperti pikiran-pikiran
orang yang kurang waras akalnya, baik karena mabuk atau fly dan lain
sebagainya. Di mana ketika segala hakikat kenyataan itu tampak, kondisi mereka
saat itu mengatakan:
! Bila kedudukanku, saat dikumpulkan bersama kalian, seperti apa yang telah
aku temui sendiri (sekarang ini), maka sungguh aku telah menyia-nyiakan
hari-hariku.
! Angan-angan itu telah menguasai jiwaku dalam jangka waktu yang lama,
dan hari ini, aku menganggapnya hanya sebagai bunga mimpi.
Ketahuilah, sebenarnya pikiran-pikiran yang melintas itu tidaklah
membahayakan, namun yang bahaya bila pikiran-pikiran itu sengaja didatangkan
dan terjadi interaksi dengannya. Pikiran yang melintas itu laksana orang yang di
suatu jalan, bila Anda tidak memanggilnya dan Anda biarkan dia, maka dia akan
berlalu meninggalkan Anda. Namun bila Anda memanggilnya, Anda akan
terpesona dengan percakapan, dusta dan tipuannya. Tindakan ini akan terasa
begitu ringan bagi jiwa yang kosong penuh kebatilan, dan begitu berat dirasa oleh
hati dan jiwa yang suci dan tenang.
Allah telah memasang dua macam nafsu pada diri manusia: Nafsu ammarah
dan nafsu muthmainnah . Keduanya saling bertolak belakang. Segala sesuatu yang
terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa berat oleh yang lain. Apa yang
terasa nikmat oleh yang satu, maka akan terasa menyiksa oleh yang lain. Tak ada
sesuatu yang lebih berat bagi nafsu ammarah melebihi perbuatan yang dilakukan
karena Allah dan lebih mendahulukan keridhaanNya dari pada hawa nafsunya,
padahal tidak ada amal yang lebih bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu
pula, tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu muthmainnah dari perbuatan
yang bukan untuk Allah dan mengikuti kemauan hawa nafsu. Padahal tidak ada
amal yang lebih berbahaya baginya dari amal tersebut.
Dalam hal ini, malaikat itu berada di samping kanan hati manusia, sementara
setan di samping kirinya. Dan pertarungan antara keduanya tidak akan pernah
berhenti sampai ajal ditentukan (oleh Allah) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan
akan berpihak kepada setan dan nafsu ammarah. Sementara, semua macam
kebenaran itu akan berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah. Dalam
peperangan itu, kalah dan menang datang silih berganti. Dan kemenangan itu ada
bersama kesabaran. Maka barangsiapa yang benar-benar bersabar, berusaha
keras dan bertakwa kepada Allah, niscaya baginya balasan yang baik, di dunia dan
di akhirat nanti. Dan Allah pun telah menetapkan sebuah ketetapan yang tidak
dapat dirubah selamanya; bahwa balasan baik itu adalah untuk ketakwaan, dan
pahala itu adalah untuk mereka yang bertakwa.
Hati itu laksana papan yang kosong, dan pikiran-pikiran itu bagaikan tulisan yang
diukir di atasnya. Maka, bagaimana bisa dikatakan pantas bagi seorang yang
berakal bila papannya hanya berisi dusta, tipu daya, angan-angan kosong dan
fatamorgana yang tidak ada realitanya? Hikmah, ilmu dan petunjuk macam apa
yang diharapkan dari tulisan-tulisan itu? Apabila ia ingin melukiskan hikmah,
ilmu dan petunjuk di papan hatinya, maka tak ubahnya seperti penulisan ilmu
yang bermanfaat di sebuah tempat yang sudah penuh dengan tulisan lain yang
tidak ada manfaatnya. Bila hati tidak kosong dari pikiran-pikiran kotor, maka
pikiran-pikiran positif yang bermanfaat tidak akan dapat menetap di dalamnya,
karena dia memang tidak dapat menempati kecuali tempat yang kosong. Seperti
yang diungkapkan oleh seorang penyair:
Aku telah didatangi oleh hawa nafsu sebelum aku kenal dengan hawa nafsu itu
sendiri, maka ia temukan hati yang kosong, oleh karena itu ia dapat menguasaiku
Hal seperti ini banyak terjadi terhadap orang-orang tasawuf , mereka membangun
kepribadian mereka dengan cara menjaga pikiran-pikiran yang melintas di dalam
benak, mereka tidak memberikan kesempatan pada pikiran-pikiran tersebut untuk
masuk ke dalam hati, sehingga hati itu dalam keadaan kosong dan dapat untuk
melakukan kasyaf (menyingkap rahasia) dan menerima hakikat-hakikat yang
bermakna tinggi di dalamnya.
Mereka itu menjaga diri mereka dari satu hal, tetapi mereka lalai dan kehilangan
banyak hal yang lain. Sebab mereka kosongkan hati mereka dari lintasan-lintasan
pikiran sehingga menjadi kosong, tidak ada apa-apa di dalamnya, tiba-tiba setan
mendapatkannya dalam keadaan kosong, kemudian setan menanamkan di
dalamnya kebatilan dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang paling tinggi
dan paling mulia, setan meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis pikiran-pikiran
yang merupakan bahan dasar dari ilmu pengetahuan dan petunjuk.
Apabila hati itu sudah kosong dari berbagai macam pi- kiran, maka setan akan
datang dengan menemukan tempat yang kosong untuknya. Setan akan berusaha
untuk mengisinya dengan hal-hal sesuai dengan kondisi pemilik hati tersebut.
Bila tidak berhasil mengisinya dengan pikiran-pikiran kotor, maka setan akan
menyibukkannya dengan keinginan melepaskan diri dari keinginan-keinginan -
yang sebenarnya- tidak ada kebaikan dan kesuksesan bagi seorang hamba kecuali
bila keinginan-keinginan tersebut berhasil menguasai hatinya, yaitu
mengosongkannya dari keinginan untuk mengikuti perintah Allah- yang memang
dicintai dan diridhaiNya-, kemudian menyibukkan hati dan memperhatikan
perintah-perintah tersebut secara rinci untuk kemudian melaksanakannya di
masyarakat, lalu berusaha menyampaikan nya pada orang-orang dengan harapan
mereka juga mau melaksanakannya. Dalam hal ini, setan akan berusaha
menyesatkan orang yang mempunyai keinginan demikian dengan mengajak untuk
meninggalkan keinginan baik tersebut dan melepaskannya, tidak usah
memikirkan dunia dan masyarakat didalamnya.
Setan akan membisikkan kepada mereka bahwa kesempurnaan itu dapat mereka
capai dengan cara melepaskan diri dan mengosongkan hati dari hal itu semua.
Sungguh amat jauh ungkapan tersebut dari kebenaran. Karena, kesempurnaan
itu hanya dapat diperoleh bila hati itu penuh terisi de- ngan keinginan dan
pikiran yang baik serta usaha untuk merealisasikannya. Maka, manusia yang
paling sempurna adalah mereka yang paling banyak memiliki pikiran dan
keinginan untuk tunduk kepada perintah Allah, mencari keridhaanNya.
Sebagaimana manusia yang paling hina adalah mereka yang paling banyak
memiliki keinginan dan pikiran untuk memenuhi hawa nafsunya di mana saja dia
berada. Wallahul musta'an (Allah-lah tempat mohon pertolongan).
Lihatlah, Umar bin Khaththab, pikirannya penuh dengan keinginan dalam mencari
keridhaan Allah. Barangkali dia dalam keadaan shalat, namun saat itu dia juga
sedang mempersiapkan tentaranya (untuk jihad). Dengan demikian dia telah
berhasil mengumpulkan antara jihad dan shalat, sehingga beberapa ibadah masuk
berkumpul dalam satu ibadah.
Ini adalah satu hal yang mulia dan agung, tidak akan tahu tentang hal ini kecuali
mereka yang mempunyai keinginan yang benar-benar kuat dan pandai mencari,
luas ilmunya serta tinggi cita-citanya, di mana dia masuk dalam satu ibadah
namun dia juga mendapatkan ibadah-ibadah yang lain. Itulah karunia Allah yang
diberikan pada siapa yang dikehendakinya.
3. Al-Lafazhat (Kata-Kata Atau Ucapan)
Adapun tentang Al-Lafazhat (kata-kata atau ucapan), maka menjaga hal yang satu
ini adalah dengan cara mencegah keluarnya kata-kata atau ucapan yang tidak
bermanfaat dan tidak bernilai dari lidah. Misalnya dengan tidak berbicara kecuali
dalam hal yang diharapkan bisa memberikan keuntungan dan tambahan
menyangkut masalah keagamaannya. Bila ingin berbicara, hendaklah seseorang
melihat dulu; apakah ada manfaat dan keuntungannya atau tidak? Bila tidak ada
keuntungannya, dia tahan lidahnya untuk berbicara. Dan bila dimungkin kan ada
keuntungannya, dia melihat lagi; apakah ada kata-kata yang lebih
menguntungkan lagi dari kata-kata tersebut? Bila memang ada, dia tidak akan
menyia-nyiakannya.
Kalau Anda ingin mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang maka lihatlah
ucapan lidahnya. Ucapan itu akan menjelaskan kepada Anda apa yang ada dalam
hati seseorang, dia suka ataupun tidak suka.
Yahya bin Mu'adz berkata: Hati itu bagaikan panci yang sedang menggodok apa
yang ada di dalamnya, dan lidah itu bagaikan gayungnya. Maka perhatikanlah
seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk untukmu
apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin dan sebagainya.
Ia menjelaskan kepada Anda bagaimana "rasa" hatinya, adalah apa yang dia
keluarkan dari lidahnya. Artinya, sebagaimana Anda bisa mengetahui rasa apa
yang ada dalam panci itu dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula
Anda bisa mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya, Anda
dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya dari lidahnya, sebagaimana Anda
juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.
Dalam hadits Anas radhiallaahu anhu yang marfu', disebutkan:
"Tidak akan istiqamah iman seorang hamba sehingga hatinya beristiqamah (lebih
dahulu), dan tidak akan istiqamah hatinya sehingga lidahnya beristiqamah (lebih
dahulu)."
Nabi pernah ditanya tentang hal yang paling banyak memasukkan manusia ke
dalam Neraka, beliau menjawab: "Mulut dan kemaluan". At-Tirmidzi berkata:
"Hadits ini hasan shahih."
Sahabat Mu'adz bin Jabal pernah bertanya kepada Nabi tentang amal apa yang
dapat memasukkannya ke dalam Surga dan menjauhkannya dari api Neraka. Lalu
Nabi memberitahukan tentang pokok, tiang dan puncak yang paling tinggi dari
amal tersebut, setelah itu beliau bersabda:
"Bagaimana kalau aku beritahu pada kalian inti dari semua itu?" Dia berkata: "Ya,
Wahai Rasulullah". Lalu Nabi r memegang lidah beliau sendiri kemudian berkata:
"Jagalah olehmu yang satu ini." Maka Mu'adz berkata: "Adakah kita bisa disiksa
disebabkan apa yang kita ucapkan?" Beliau menjawab: "Ibumu kehilangan engkau
ya Mu'adz, tidakkah yang dapat menyungkurkan banyak manusia di atas wajah
mereka (ke Neraka) kecuali hasil (ucapan) lidah-lidah mereka?" At-Tirmidzi berkata:
"Hadits ini hasan shahih."
Dan yang paling mengherankan yaitu bahwa banyak orang yang merasa mudah
dalam menjaga dirinya dari makanan yang haram, perbuatan aniaya, zina,
mencuri, minum minuman keras serta melihat pada apa yang diharamkan dan
lain sebagainya, namun merasa kesulitan dalam mengawasi gerak lidahnya,
sampai-sampai orang yang dikenal punya pemahaman agama, dikenal dengan
kezuhudan dan ibadahnyapun, juga masih berbicara dengan kalimat-kalimat yang
dapat mengundang kemurkaan Allah I tanpa dia sadari bahwa, satu kata saja dari
apa yang dia ucapkan dapat menjauhkannya (dari Allah dengan jarak) lebih jauh
dari jarak antara timur dan barat. Dan betapa banyak Anda lihat orang yang
mampu mencegah dirinya dari perbuatan kotor dan aniaya namun lidahnya tetap
saja membicarakan aib orang-orang, baik yang sudah mati ataupun yang masih
hidup, dan dia tidak sadar akan apa yang dia katakan.
Kalau Anda ingin mengetahui hal itu, lihatlah apa yang diriwayatkan oleh Muslim
dalam kitab Shahih -nya dari hadits Jundub bin Abdillah, dia berkata: Nabi
bersabda:
"Ada seorang pria yang mengatakan, 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si
Fulan itu'. Maka Allah berfirman, 'Siapa orang yang bersumpah bahwa Aku tidak
akan mengampuni si Fulan? Sungguh Aku telah mengampuninya dan
menggugurkan amalmu'."
Lihatlah, hamba yang satu ini; dia telah beribadah kepada Allah dalam waktu yang
cukup lama/panjang, namun satu kalimat yang diucapkannya telah menyebabkan
semua amalnya terhapus.
Dan di dalam hadits Abu Hurairah juga dikisahkan cerita seperti itu, kemudian
Abu Hurairah berkomentar: "Dia telah mengucapkan satu kalimat yang dapat
menghancurkan dunia dan akhiratnya."
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah dari Nabi :
"Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang mengucapkan satu kalimat yang
termasuk dicintai oleh Allah, dia tidak terlalu perhatian dengan itu, namun ternyata
Allah berkenan meninggikannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang
hamba itu terkadang mengucapkan satu kalimat yang termasuk dibenci Allah, dia
tidak terlalu perhatian dengan itu, namun ternyata dengan kalimat itu dia masuk ke
dalam Neraka Jahannam." Dalam riwayat Muslim: "Sesungguhnya seorang hamba
itu mengucapkan satu kalimat yang tidak jelas apa yang dikandungnya, namun dia
dapat menjatuhkannya ke dalam Neraka (yang jaraknya) lebih jauh dari jarak
antara timur dan barat."
Dan dalam riwayat At-Tirmidzi dari hadits Bilal bin Al-Harits Al-Muzani dari Nabi
:
"Sesungguhnya seorang dari kalian terkadang mengucapkan satu kalimat yang
dicintai oleh Allah, dia tidak menyangka (pahalanya) sampai seperti apa yang dia
dapatkan, namun ternyata dengan kalimat itu Allah memberikan kepadanya
keridhaanNya sampai hari dia menjumpaiNya kelak. Dan sesungguhnya seorang
dari kalian terkadang mengucapkan satu kalimat dari yang dimurkai oleh Allah, dia
tidak menyangka (dosanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata
Allah memberikan kepadanya kemurkaanNya sampai hari dia menjumpaiNya
kelak." Alqamah mengatakan: "Betapa banyak ucapan yang tidak jadi aku katakan
disebabkan oleh Hadits Bilal bin Al-Harits ini."
Dalam kitab Jami' At-Tirmidzi, juga dari hadits Anas, dia berkata: Ada seorang
sahabat yang meninggal, lalu ada seorang laki-laki berkata, 'Berilah khabar
gembira dengan Surga', maka Nabi bersabda:
"Dari mana kamu tahu? Barangkali dia pernah mengucapkan (kalimat) yang tidak
ada guna baginya atau dia pelit untuk (memberikan) sesuatu yang tidak akan